Pemerintahan
corak Republik menjadi Monarchi (sulthanat/kingship) selain
menerapkan corak pemeritahan yang turun temurun, kekuasan di tetapkan
menjadi milik diri Dinasti Umayah. Ialah yang pertama memunculkan jurang
antara Arab dan Mawalli. Ia pula yang pertama kali menerapkan Diwan
Al-Khatim dan Diwan Al-Barid. Diwan-diwan itu kemudian berkembang maju
pada masa Abdul Malik. Di bawah kepala dinas pos ini, ia juga bangun
pos-pos pemeriksaan supaya mudah mengontrol gerak musuh.[1]
Kemajuan Dinasti Umayyah dilakukan dengan
ekspansi, sehingga menjadi negara islam yang besar dan luas. Dari
persatuan berbagai bangsa dibawah naungan islam lahirlah benih-benih
kebudayaan dan peradaban islam yang baru. Meskipun demikian, Bani Umayyah lebih banyak
memusatkan perhatian pada kebudayaan arab.[2]
Bidang pembangunan fisik pun tidak luput dari
perhatian para khalifah bani umayyah. Masjid-masjid di semenanjung
Arabia dibangun, katedral st. John di Damaskus diubah menjadi masjid. Dan kadetral di Hims digunakan sekaligus sebagai masjid dan
gereja.
Selain itu, di masa ini gerakan-gerakan ilmiyah telah berkembang pula,
seperti dalam bidang keagamaan, sejarah, dan filsafat. Pusat kegiatan
ilmiyah ini adalah Kuffah dan Basrah di Iraq.[3]
Pembangunan dan komunikasi yang kurang baik di berbagai
provinsi dan kota, membuat
Muawiyah berkonsultasi dengan majlis syura. Satu sisi ia cukup
membuka ruang demokrasi dengan berkonsultasi dengan anggota dewan majlis
syura, namun di sisi lain ia juga mengampanyekan bentuk pemerintahan
monarki dengan mengangkat Yazid menjadi putera mahkota, bahkan ia
menyampaikan barang siapa tidak terima jika islam maju –bersama
kepemimpinan model kesultanannya- maka pedang yang akan meluruskannya.
Karena hal tersebut, maka orang-orangpun berduyun-duyun menyatakan
sumpah setia kepada Yazid.[4]
Masa kekuasaan Yazid sangat singkat yaitu
pada 680-683. Ia dibaiat oleh rakyat dengan setengah hati terutama oleh
penduduk Mekah dan Madinah. Meskipun
pemerintahannya Monarki, namun masih terdapat majelis syura yang menandakan
tetap Demokratis. Pada masanya, Yazid ditandai dengan
tiga keburukan dan hanya satu kebaikan, yaitu pada tahun Pertama, cucu nabi, Husen terbunuh di Karbala menyebabkan golongan Syi’ah lahir
secara sempurna dan menjadi penentang utama kekuasaannya. Tahun Kedua,
tentara Yazid menyerang habis-habisan kota Madinah dalam peperangan di
Harra yang mengakibatkan citra pasukan islam tercoreng di muka sendiri.
Tahun Ketiga, tentara Yazid menyerang dan membakar Ka’bah.
Setelah pembantaian di Karbala, mereka berontak dan mengaku Abdullah ibn
Zubair menjadi khalifah mereka. Adapun kebaikan yang diperbuat Yazid
yaitu mengangkat kembali Uqbah ibn Nafi’ menjadi gubernur kedua kalinya
di Ifriqiyah/Qayrawan.[5]
Periode Abdul Malik mulai memasuki periode
keemasan dinasti Umayah. Ia mampu mencetak mata uang Arab dengan nama Dinar, Dirham, dan Fals.
Kemudian dia mendirikan kas negara di Damaskus. Selain itu pertama kali
dalam sejarah bahasa arab menggunakan titik (.) dan koma (,) dan
memperbaharui Qawa’id yang sudah dimulai sejak Zaman Ali Bin Abi Thalib
yang titugaskan kepada abu al-Aswad al-Duwaili. Disamping itu Abdul
Malik juga meningkatkan pelayanan pos dan komunikasi, juga memperbaharui
perpajakan.[6]
Gerakan yang dilancarkan untuk
mendirikan pemerintahan Bani Abbasyiah semakin kuat. Pada tahun 446 M
mereka memproklamirkan berdirinya pemerintah Abbasyiah, namun Marwan
menangkap pemimpinnya yang bernama Ibrahim lalu dibunuh. Setelah
dibunuh, pucuk gerakan diambil alih oleh seorang saudaranya bernama Abul
Abbas as-Saffah yang berangkat bersama-sama dengan keluarganya menuju
Kuffah.[7]
Abbasyiah berkewajiban untuk menundukkan dua kekuasaan Bani Umayah yang
besar, yang satu dipimpin oleh Marwan bin Muhammad dan satu lagi oleh
Yazid bin Umar bin Hubairah yang berpusat di Wasit.[8]
Kedudukan kerajaan Abbasyiah tidak akan tegak berdiri sebelum
khalifah-khalifah Umayah tersebut dijatuhkan terlebih dahulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar